Friday, September 30, 2011

Baladatak Romansa 12: Aku Kamu, Aku Aku, Kamu Kamu, Aku Kamu.. (akaakkakaakkak….)


by Leo Amurist on Monday, April 11, 2011 at 6:43pm
-karenarasaadalahsegalanya11042011-

Mulanya aku mau untuk mundur, sejenak memberi ruang untuk aku menjadi aku.
Lalu kamu merajuk karena kamu mau aku.
Tertunda mauku demi kamu karena khawatir akan kamu mengikatku dengan kamu.
Kini aku tak lagi milikku.

Tak tahan, jengah, dan butuh aku untuk diriku.
Kembali kupinta mundur untuk aku dengan diriku dan kali ini tanpa peduli jawabmu aku mundur.
Mengambil waktu dan ruang untuk aku dan oleh diriku saja.
Kamu pun memberikannya mungkin dengan sedikit terpaksa tapi yasudahlah.

Tak lama aku dengan diriku kau datang mendekatiku, bilang aku mau kamu.
Aku bilang aku mau aku, kamu bilang kamu mau aku.
Kini aku dan kamu berebut aku.

Dalam mundurku untuk bercinta dengan aku, kamu mendekat.
Masuk ke dalam ruang yang seharusnya untuk aku dan diriku.
Bertanya dengan siapa aku di dalam, sedang apa aku di dalam.
Aku bilang aku sedang berbicara intim dengan diriku sendiri.
Kamu bilang buka pintu, aku mau masuk, aku mau lihat, karena aku tau kamu sedang bersama yang lain.

Aku melihat diriku hilang, kini aku tak melihat aku lagi, buyar oleh teriakanmu.
Aku keluar pintu dan memintamu untuk melihat kakimu.
Lihat dimana kita menjejak.
Aku mundur selangkah, namun kamu maju selangkah.
Kini kakimu ada di ranah pribadiku, tanah yang seharusnya untuk aku.
Aku dan kamu berebut aku.

Beri aku ruang dan waktu untuk aku dengan diriku.
Kamu setuju dan mulai mundur kembali ke tempatmu.
Aku masuk ke dalam rumahku dan menemukan diriku.
Segelas kopi, sebotol bir.
Beberapa kali kami memanggang babi atau sekadar memasak anjing.
Hanya untuk menikmati.

Hey….!!
Teriakan yang aku kenal, memanggilku dengan lantang.
Diriku tak terlihat lagi.
Aku mengintip dari jendela, menemukanmu di seberang sana.
Memanggil manggil di halaman rumahmu.
Telah berapa malam kamu tidak masuk rumahmu, memanggil manggil aku.

Saat aku sedang menikmati diriku, kembali runtuh semua rasa itu.
Aku harus membangunnya dari awal lagi.
Aku keluar rumah, ke teras depan rumahku dan minta kamu untuk bersabar.
Sebentar ya.
Kamu mau.

Masuk ke dalam rumahku, aku mulai dari awal lagi.
Memanggil diriku, membuat kopi, mencari bahan pembicaraan lagi.
Mulai nyaman, kami membuka botol bir dan berbincang lagi.
Aku hampir puas dan tenang sampai teriakan itu muncul dan memusnahkan diriku lagi.

Telah beberapa hari kamu di luar rumah memanggil manggilku lagi.
Karena khawatir telah mengikatku, karena peduli telah mengekang aku.
Aku tak lagi punya diriku.
Kekang dan tali yang menarikku ke rumahmu.

Inginku adalah aku, inginmu adalah aku.
Aku dan kamu berebut aku.
Kekang ikat peduli dan khawatir, bertarung dengan inginku.
Akhirnya kepedulian menariku maju setengah langkah, itu pun dengan dorongan tangan khawatir.
Inginku berontak, ingin tetap dalam posisi mundur selangkah.
Dan teriakanmu akhirnya memaku kakiku pada posisi mundur setengah langkah.

Kini aku ada di teras depan rumahku.
Bukan di posisi awalku yang bersama kamu, bukan juga di posisi dimana aku ingin berada menemukan diriku bersama aku.
Inginku mundur selangkah dan kini berakhir di mundur setengah langkah.
Aku tak dapat diriku dan kamu tak dapat diriku.
Aku terjebak diantara dua ingin dan terpaku kakiku erat di titik ini.
Tertarik tarik tercabik cabik.
Seperti mati tak mampu dan hidup tak mau rasanya.

Teriakmu sadarkan aku .
Kini aku berdiri di teras depan rumahku dan kamu di depan teras rumahmu.
Berhari hari tak masuk, kita beradu dengan cuaca.
Untuk maju aku tak mampu untuk mundur aku tak bisa.
Matahari dan bulan mengikis raga kita.
Dan akhirnya keras pun pecah.
Salah satu dari kita roboh.

Ikatan ikatan itu mendorong dan menarik.
Salah satu dari kita keluar dari teras dan masuk ke teras yang satunya dengan berdarah darah.
Melupakan keinginan sejenak dan memberi diri yang satu untuk diri yang satunya.
Akhirnya dalam pertentangan ingin dan ingin.
Seorang melupakan ingin dan menjadi boneka dari ingin.

Diri tergantung tercabik cabik di antara.
Kita berdua kini di satu rumah bersama.
Dimana aku ingin aku dan kamu ingin aku, namun kini tak berebutan lagi.
Karena kini aku sama dengan kamu, dan aku adalah kamu.
Dimana aku?
Aku tidak tahu.
Siapa aku?
Entahlah.
Apa mauku?
Aku lupa.

Ingin ingin tak pernah mati.
Memori selalu abadi.
Ada saat diri tak menjadi.
Namun pasti nanti diri akan mencari diri.
Saat aku yang hilang itu menemukan aku.
Mungkin aku yang dicari itu yang menemukan aku yang mencari.
Untuk sekadar membuka botol bir atau menyeruput kopi bersama.
Antara aku dan aku dan diriku.

Tertunda hanya masalah waktu, dimana ikatan ikatan adalah buram pada cermin.
Selembar kain basah yang menyapu akan menjernihkannya.
Saat itu aku bisa melihat diriku.
Tanpa buram dan halang hambatan.
Hai, kataku pada diriku. Lama tak bertemu.
Dan aku mulai berintim dengan diriku.
Dulu. Sekarang. Nanti.
Walau tak berarti selalu sepanjang waktu.

No comments:

Post a Comment