Friday, September 30, 2011

Kunang Kunang

by Leo Amurist on Tuesday, December 21, 2010 at 11:09am


Malam selalu gelap, karena matahari sedang tidur dan aku selalu kagum akan bulan. Bulan yang selalu bisa bersinar terang tanpa teman di langit yang kelam. Apalagi saat bulan purnama. Aku bisa berdiam melihatnya semalaman, sampai papaku kadang memaksa untuk tidur, karena besoknya aku harus sekolah.

Malam ini bulan hanya tersenyum, dia sedang tidak purnama. Hanya bulan sabit. Cahayanya kurang terang. Aku selalu senang dengan cahaya, apalagi yang berkedip kedip. Indah, seperti kunang-kunang. Aku selalu penasaran dengan kunang-kunang. Ia bisa terbang sesuka hati dan kedipan cahayanya membuat aku suka. Aku ingin sekali menangkapnya.

Sekarang jam tujuh malam, aku keluar halaman untuk melihat bulan tapi bulan lagi tidak terang. Saat aku melangkahkan kaki hendak masuk ke dalam rumah, kerlap kerlip cahaya menghentikan langkahku. Kunang-kunang! Teriakku. Langsung aku menyerbu dan mengejarnya. Ingin aku menangkap dan melihat langsung apa yang membuat dia bisa bercahaya. Aku ingin seperti kunang-kunang, indah dan bercahaya saat malam.

Aku berlari dan mengejar kunang-kunang itu ke halaman depan. Akan kutangkap, aku pelihara dan kuberi nama Tomas. Beberapa kali tanganku hampir menggapainya, namun selalu gagal untuk menangkapnya. Kunang-kunang ini lincah juga. Mungkin dia belum makan, sehingga badannya ringan. Aku masih belum menyerah dan terus berlari mengejarnya. Aku ingin memiliki keindahan itu untuk aku saja. Sampai akhirnya.. grussaakkkh... aku terperosok masuk ke dalam cekungan tanah. Lutut dan sikutku perih. Aku menangis memanggil papa.

“Kamu ngapain?” Tanya Papa. “Ngejar kunang-kunang.” Jawabku.
“Kenapa?”
“Kunang-kunangnya bagus, mau aku pelihara biar bisa dilihat setiap hari.”
“Kalau bosen gimana?”
“Aku gak akan bosen, Papa.”
“Bukan kamu, kunang-kunangnya yang bosen. Kalau dia bosen terus mati, kamu gak kasihan?” Jawab Papa lagi sambil balik bertanya. Aku diam. Iya ya.. pikirku.

“Udah tuh,” kata Papa yang telah selesai membersihkan lukaku. “Anak perempuan tapi serampangan kamu itu.” Katanya lagi.

Aku hanya tersenyum lebar. Hehe.. tapi lutut dan sikutku masih sakit.

“Sini.” Papa mengajakku ke teras. “Coba duduk diem di sini, kalau ada kunang-kunang, kamu lihat aja. Jangan dikejar. Lihat aja yaaa..”

Aku mengangguk. Tidak lama muncul satu kunang-kunang. Dua kunang-kunang, tiga, empat, dan banyak sekali kunang-kunang. Mereka terbang bebas, kerlap-kerlipnya indah. Kadang-kadang dari rangkaian cahaya kelap-kelip itu aku bisa mendapatkan bentuk-bentuk lucu. Aku jadi bisa mengkhayalkan apa saja. Kelap-kelip cahaya itu makin ramai, makin indah, aku jadi malas untuk pindah. Aku sangat menikmati keindahan ini, rasa ingin menangkap kunang-kunang mulai aku abaikan. Kunang-kunang akan lebih indah saat dia terbang bebas bersama teman-temannya kemudian menari tarian cahaya.

“Gak perlu kamu tangkap kan kunang-kunangnya. Cukup duduk dengan tenang dan lihat aja kunang-kunang itu menari indah untuk kamu.” Kata Papaku, kemudian aku tersenyum padanya. Malam makin larut dan aku makin mengantuk. Saatnya untuk tidur. Aku berjalan ke kamarku dan dalam hati berkata, “Malam ini aku ingin mimpi kunang-kunang. Melakukan tarian cahaya bersama kunang-kunang.”

Bandung, 31082010




No comments:

Post a Comment