Friday, September 30, 2011

Simpang Espresso di Jalan Satu Arah

by Leo Amurist on Saturday, December 4, 2010 at 2:15pm
karenarasaadalahsegalanya 04122010


“Gue bukan gay, cowo gue yang gay!” Katanya.
“Lalu apa masalahnya? Bagiku itu bukan masalah. Apa itu masalah buatmu?” Jawabku.
“Masalah buat gue, saat hal ini menjadi penghalang pertemanan kita.”
“Aku gak masalah dengan hal itu, aku bebas. Hanya mungkin akan risih kalau kamu naksir aku.”
“...” Ia diam seketika.
“Kenapa?”
“Gak apa-apa.”
“Mmm...” Aku menatap mencari tahu tanpa menekan.
“Oke oke, sebenarnya gue suka ama lu.”
“Owh.. Yaudah.” Aku menjawab santai.
“Mengganggu kah?”
“Gak, selama kamu gak ngejar-ngejar ekstrim. Lagian kamu udah punya cowo kan.”
“Iya sih, tapi apa ada kesempatan?”
“Hahaha... yasudahlah. Itu hakmu. Untuk suka aku. Aku hargai itu, sama seperti kamu menghargai aku yang memilih untuk menyukai perempuan, dan bukan menyukai laki-laki. Itu bukan masalah buatku, jadi santai lah. Tapi tetap gak ada kesempatan kalau kamu mau aku!” Aku menegaskan.
“Lu gak marah?”
“Ngapain marah, aku hargai kamu dengan demikian aku menghargai diriku sendiri.”
“Gue penyuka sesama jenis, laki-laki. Homo!”
“Terus? Masalahnya dimana?”
“Di semua orang yang menatap hina kepada kami!”
“Dan aku bukan orang seperti itu, kamu tau aku.”
“Iya, gue tau. Gue juga sebenernya tau kalau akan seperti ini jawaban lu.”
“Jadi yaudah kan.”
“Jawab jujur, apa gue abnormal buat lo? Gue cowo, dan gue suka ama sesama cowo. Bahkan lebih parah, gue ngerasa diri gue cewe. Gue ngerasa cewe, yang terjebak di tubuh laki-laki.”
“Normal ah..”
“Maksudnya??”
“Aku melihat dengan mata, pikiran dan rasa. Kontekstualitas yang jadi dasar. Bagiku secara fisik kamu laki-laki, secara jiwa kamu perempuan. Kamu merasa dirimu bagaimana?”
“Perempuan.”
“Yaudah, kamu perempuan buat aku. Kamu bukan laki-laki hanya karena punya penis.”
“Tapi gue punya!”
“Yaudah, perempuan berpenis.”
“Itu hinaan buat gue.” Mukanya kesal.
“Yahhh.. Jadi kamu merasa perempuan atau laki-laki?” Aku berkata dengan nada lelah.
“Gue ngerasa diri gue perempuan.”
“Walau dengan fisik lelaki itu?” Aku bertanya menegaskan.
“Iya, walau fisik gue laki-laki, gue merasa gue perempuan!”
“Yaudah bagiku kamu perempuan.”
“Perempuan berpenis.”
“Gak usah dibahas lah!” Aku sedikit kesal.
“...”
“Yaudah, ada lagi?” Aku menyeruput kopiku, seruput penghabisan.
“Apa kita bisa? Apa gue ada kesempatan dengan lu?”
Aku tersenyum menggeleng.
“Kita teman kan?”
“Iya, kita teman.” Aku tersenyum.
Ia diam.
Aku bersiap untuk beranjak.
Ia tertunduk, bergeming.
Pantatku terangkat tak menapak kursi.
“Lo gak tau rasanya.” Kalimat yang membuat pantatku mendarat kembali.
“Apa?”
“Ditolak.”
“Tau, sedang mengalami ini juga.” Aku menjawab dengan senyum pedih.
Ia menatapku dengan sinar ingin tahu.
“Aku juga ditolak.” Aku menjawab tatapannya.
“Cowo?”
“Cewe laaaahh...! hhhh...”
“Berat mungkin tiap ketemu, saat cinta hanya menjadi jalan satu arah. Tidak bisa berpapasan rasa.”
“Itulah kenikmatannya, seperti kopi. Pahit manis rasa.”
“Mudah buat lo untuk ngomong.”
“Iya, dan memang berat untuk dilakukan. Seberat yang aku lakukan, tadi malam aku ngopi dengan dia. Rasa kopinya jauh lebih pahit dari biasa.”
Ia menatapku dengan sinar tanya lagi dan berkata, “Harapan yang larut dalam air panas?”
“Iya, harapan terlarut air panas dan pahitnya masih terasa di kerongkonganku sampai saat ini.”
Ia tersenyum, belajar menerima. “Kenapa lu tenggak juga kopi kekecewaan itu?”
“Karena aku suka kopi apa adanya seperti aku yang apa adanya, walau seringkali ada apanya. Kadang terlalu pahit, kadang terlalu manis.”
“Hahahaha... itulah yang membuat gue suka ama lu. Coba gue cewe tulen.”
“Kamu cewe, dalam pandangku.” Aku tersenyum.
Ia tersenyum menerima. “Siapa perempuan yang nolak lu?” Ia bertanya.
Aku memandangnya, berpikir beberapa detik, dan kemudian memutuskan, “Perempuan yang menyukai cowomu dan bertepuk sebelah tangan karena lelaki yang ia sukai adalah lelaki yang menyayangi kamu.”
“Aku, laki-laki yang menyukai laki-laki yang menyukai perempuan yang menyukai laki-lakiku.”
“Kamu perempuan.”
Ia diam
Aku diam
Ia tersenyum
Aku tertawa
Kami tertawa
“Mas, espresso double dua gelas lagi dong..” Pesanku pada pramusaji lelaki di kafe yang sebagian besar pegawainya adalah gay dan transgender.
Malam yang menenangkan dan mendamaikan.

Soundtrack:

Perih

apa yang harus ku lakukan lagi
bila ku tak setia
karena aku hanya seorang manusia
yang tak sempurna

aku mencoba memberikan segala yang telah aku punya
namun semuanya sia-sia
percuma

aku telah coba untuk memahamimu
tapi kau tak peduli

cukup sudah kau sakiti aku lagi
serpihan perih ini takkan ku bawa mati

sampai kapan bisa membuatmu mengerti
membuat aku bermakna di hatimu di hatimu
di matamu sayang

No comments:

Post a Comment