Friday, September 30, 2011

Baladatak Romansa 5 : Cinta Mati

by Leo Amurist on Saturday, March 13, 2010 at 11:31am
 
 
 
Ego 12 Maret Duaribu Sepuluh

Berbalas hati teringini, menjumpai seluruhnya hanya mimpi, sungguh kecewa berharap mati. Memberi serasa sepenuh hati, prediksi-prediksi seakan janji. Semua kepenuhan harapan diserahkan pada angan, dengan berjinjit tinggikan badan menggantungkannya di sisi awan. Mengingini memiliki, beri semua berharap seperti prediksi, beracuan nilai moral adat kebiasaan balas budi. Berharap hujan, air di tempayan ditumpahkan.

Menggenggam mengendalikan, membuat seperti keinginan, mencintai refleksi diri dari membuat pribadi seperti yang dikehendaki. Ikat-ikat pekerti, matematika terima memberi, hitung-hitung rasa hati, keseimbangan terdefinisi sebagai persamaan. Perbandingan memberi gelar, tak tahu diri, tiada berbudi pekerti. Menerima terdefinisi membalas beri saat nanti, hidup menjadi hutang kehidupan tentang melunasinya.

Lupa tiap jiwa memanggul dunianya, pikiran terkungkung butakan mata, lalu anggap semua sama. Bagai katak dalam tempurung. Telinga tertutup, jelas terdengar cerita hanya dari empunya mulut. Lain mulut, tak bersuara tak bersua rasa tak perlu berasa di jiwa. Kecewa ingini mati waktu sadari semua tak seindah prediksi, terlalu banyak faktor dikurangi, tiada penerimaan diri bahwa telah melupai dan tak rendah hati mengakui eksistensi. Dasar-dasar bangunan pribadi yang terhilangkan, muncul tak peduli menari-nari riang. Prediksi bukan janji, takkan selalu tertepati, kaki kerelaan sulit memijak bumi, sayap angan terus buat melayang di awang-awang mimpi.

Kecewa ingini mati, rasa tak berbalas hati. Marahi diri, yang tak mengakui eksistensi. Kaki kerelaan tak memijak bumi, sayap mimpi terus tinggikan hati, emosi menjadi tak terkendali. Cintai refleksi diri, dari membuat pribadi seperti terkehendaki, prediksi bukanlah janji. Semua yang tak tertepati, membuat cermin menjadi musuh abadi. Buruk rupa cermin dibelah. Tak sebiji pun seperti prediksi, muncul janji yang kan buat hati mati.

Harga terlalu tinggi, untuk diri yang terkungkung mimpi. Tak mau sekadar angkat topi, merasakan teriknya mentari, agar kaki kerelaan turun memijak kembali, bawa teduh di bawah pohon yang menaungi. Malah menutupi seluruh wajah, butakan mata tulikan telinga, melayang semakin tinggi. Prediksi bawa terbang meninggi, menuju terbakar hati oleh matahari. Tak ada pengakuan, tak melahirkan kerelaan, hutang tak terlunaskan, mari menghubungi kematian. Diri yang tak mendapatkan, sungguh bermaksud memusnahkan, agar tiada lain merasakan angan harapan yang olehnya tak bisa ternyatakan.

Keraskan angan menjadi baja tahan segala zaman, tajamkan prediksi menjadi janji yang siap menusuk mati kala tak terlunaskan. Memberi semua dengan matematika keseimbangan dan ikat moral pekerti kebiasaan. Menunggu sang refleksi diri ternyatakan dari benih yang telah ditanamkan, penuh ancaman agar sang keinginan terrealisasikan. Memupuk emosi yang yang memberanikan, menghunus pedang-pedang kecewa yang mematikan, kala semua tak sejalan seiring keinginan. Mengembangkan ketidak terbukaan, menutup indera dari keluasan yang membebaskan, tiada pengakuan tiada penerimaan. Pemberian tak berjiwa kerelaan, tak melahirkan penerimaan akan pemberian tak sesuai harapan. Tuntutan. Tiada penerimaan berjiwa kerelaan.

Cinta mati..

Cintai.. atau mati.


Soundtrack:
D’Masiv – Cinta Ini Membunuhku
(telah diedit pada kata “acuh”)

kau membuat ku berantakan
kau membuat ku tak karuan
kau membuat ku tak berdaya
kau menolakku tak acuhkan diriku

bagaimana caranya untuk
meruntuhkan kerasnya hatimu
ku sadari ku tak sempurna
ku tak seperti yang kau inginkan

kau hancurkan aku dengan sikapmu
tak sadarkah kau telah menyakitiku
lelah hati ini meyakinkanmu
cinta ini membunuhku
bagaimana caranya untuk
meruntuhkan kerasnya hatimu
ku sadari ku tak sempurna
ku tak seperti yang kau inginkan

No comments:

Post a Comment