A : Seorang sahabat adalah orang yang tidak
meninggalkan temannya dalam keadaan terdesak ataupun dalam keadaan tersulit. Ketika
dalam keadaan tersulit seorang sahabat seharusnya mendukung temannya,
bukan meninggalkannya. untuk itu mengatakan orang lain sebagai sahabat, harus
memenuhi kriteria diatas.
B : Tuhan
gembalaku dalam badai
Terang dalam kegelapan, harapan dalam kecemasan
Cahaya-Nya menuntun jiwaku dan Roh Ilahi-Nya menghalau kabut keraguan
Biarlah diriku memuji dan bersorak sepanjang waktu
Hormat dan kemuliaan bagi-Nya di tempat maha tinggi
Terang dalam kegelapan, harapan dalam kecemasan
Cahaya-Nya menuntun jiwaku dan Roh Ilahi-Nya menghalau kabut keraguan
Biarlah diriku memuji dan bersorak sepanjang waktu
Hormat dan kemuliaan bagi-Nya di tempat maha tinggi
Ke’seharusnya’an.
Membuat manusia seperti domba yang digiring gembala. Gerakannya diarahkan dan
ditentukan, hidup menjalani yang diperintahkan dan menunggu untuk masuk ke
dalam pintu kematian yang akan terbuka kemudian. Manusia yang berprikedombaan.
Banyak
konsep, pemikiran, idealisme, dan seharusnya-seharusnya di dunia. Bukan berarti
manusia ada untuk memilih salah satu pemikiran dan menjalankannya begitu saja.
Namun, manusia (mampu) membentuk pemikirannya sendiri dari berbagai
‘pengalaman’ dalam bentuk isme-isme yang memenuhi dunia ini. Satu manusia satu
isme.
Tidak ada
benar dan salah, hanya ada sebab akibat. Banyak konsep yang diajarkan dan
diberikan untuk ‘mengatur’ hidup manusia. Itu semua dalam tataran praksis dan
bukan konseptis. Itu adalah pengarahan berdasarkan pengalaman yang pernah
terjadi. Bila begini maka kemungkinan yang terjadi adalah begitu sebesar a%,
begitu sebesar b%, dst.
Tentang
pemikiran, manusia punya kebenarannya masing-masing, benar menurut aku itulah
kebenaran yang (relatif) mutlak. Konsistensi? Itu pun semu. Inkonsistensi pun
bisa menjadi suatu bentuk konsistensi. Konsistensi inkonsistensi. Konsistensi
dari perubahan-perubahan, perubahan yang konsisten.
Tentang
penyerahaan diri. Pendekatan melalui ke’dombaan’ manusia. Penyederhanaan akan
hal bahwa manusia adalah sekilat cahaya, sekejap muncul dan hilang, pada bidang
tak terbatas kehidupan. Kedamaian, dalam arti suatu pemahaman dan pengalaman
terhadap bidang tak terbatas tersebut, dilakukan dengan mengikuti giringan
gembala yang baik. Gembala yang mengantarkan kepada air yang tenang dan padang
rumput yang hijau.
Konsistensi
inkonsistensi. Ada semacam keteraturan dari ketidak teratuan yang terlihat
dalam hidup. Seperti keteraturan bahwa manusia yang lahir akan mati. Antara
lahir dan mati itulah ‘kebebasan memilih’ manusia, dalam bentuk ketidak
teraturan, yang bermain. Bagaimana manusia bisa memilih bila tidak ada
alternatif jalan. Bagaimana ada alternatif jalan, bila tidak ada jalan utama.
Ajaran-ajaran
mungkin merupakan kumpulan pengalaman-pengalaman yang dibuat polanya. Menjadi
semacam rumus besar sebab-akibat. Manusia sebagai makhluk yang katanya memiliki
akal dan budi, akan memanfaatkan hal ini dalam menjalani kehidupannya. Juga
manusia memiliki ‘kebebasan memilih’ untuk memilih akan (kapan) menggunakan ’kebebasan
memilih’nya atau tidak.
Seperti
kita (umumnya relatif) tidak bisa menolak adanya (konsep) siang dan malam –
karena secara umum itulah kebenaran (umum) –. Demikian konsepsi dan isme-isme
itu memberikan semacam gambaran alur. Dalam menanggapi siang dan malam itulah
manusia mengisinya dengan ‘kebebasan memilih’. Ada yang berpedoman pada
konsep-konsep secara fleksibel, juga ada yang secara kaku.
Dalam
tataran praktis, pola-pola tersebut adalah semacam jalan utama (umum), dimana
jalan alternatif itu menjadi pilihan dari manusia, tentu dengan adanya hukum
sebab-akibat yang seringkali bertransfomasi menjadi benar-salah, dan kerap
transformasi ini adalah senjata kepada penghakiman. Manusia menjadi tuhan atas
manusia lain (hasrat untuk berkuasa).
Dalam
tataran konseptis, siang dan malam menjadi mainan bagi manusia. Dalam
pemikirannya, manusia bisa berkata tidak ada siang atau malam atau gelap adalah
siang dan terang adalah malam. Siapa yang bisa menentang? Tuhan pun tidak.
Manusia
adalah konsentrat padat dari hasrat untuk berkuasa. Manusia membutuhkan idola.
Menjadi panutan dan contoh, menjadi jalan utama dan jalan umum. Juga, manusia
memiliki ‘kebebasan memilih’. Menjadi manusia dengan kemanusiaan atau kedombaan
pun adalah pilihan. Dengan kedombaan menuju kemanusiaan atau kemanusiaan yang
mengarah pada kedombaan atau kemanusiaan untuk kemanusiaan atau kedombaan
selamanya atau ini atau itu atau begitu atau begini dan atau atau lainnya.
Bebas.
Isme-isme
yang dikatakan suatu kebijakan, kebaikan, kebenaran, (mungkin) sepertinya tidak
lebih dari semacam rumus. Rumus tersebut berisi keseimbangan yang menghasilkan
produk berupa simbiosis mutualisme. Tentu saja hal ini salah satu bukti bahwa
isme adalah suatu pola dari banyak pengalaman yang pernah terrekam di bidang
tak terbatas kehidupan.
Salah satu
contoh sederhana. Berikanlah apa yang lebih dari padamu kepada sesamamu. Saat
semua melakukan hal ini dengan penuh kesadaran dan kepastian, simbiosis mutualisme
dalam jejaring global akan terjadi. Seseorang memberikan kepada orang lain yang
ternyata membutuhkan. Kemudian saat sang pemberi ini mengalami musibah, orang
lain (yang mungkin yang pernah ia beri atau tidak) yang mengamini isme ini,
akan memberikan uluran tangan juga kepadanya. Begitu seterusnya.
Pola-pola
yang terkandung dalam isme-isme yang bernada kebaikan, kebajikan, kedamaian dan
sejenisnya mungkin memiliki dasar pola yang sama. Simbiosis mutualisme. Lantas,
bagaimana dengan orang yang menyadari (secara sadar atau tidak sadar, dengan
paramater kesadaran logika) pola ini? Kembali kepada ‘kebebasan memilih’,
apakah ia akan mengikuti isme-isme dengan kaku, fleksibel, kombinasi, tunggal,
adaptif, atau bahkan mungkin membuang semuanya dan melampauinya.
Beberapa
orang mengatakan diri ‘melampaui’ dengan isme aku adalah tuhan untuk diriku
sendiri. Berusaha mencapai kesadaran penuh akan diri namun tidak menolak bahwa
dalam diri, ada jiwa yang memiliki suatu ruang murni kemanusiaan, yang sering dinamai
hati nurani. Dengan kesadaran tinggi, manusia ini memilih. Memilih untuk
bersimbiosis mutualis atau tidak, kapan, dimana, dalam lingkup apa, dengan cara
bagaimana, penuh kontekstualitas tanpa menjadi opotunis dan munafik.
Manusia-manusia
yang berusaha melampaui kemanusiaan (umumnya) tentu saja harus mengalami dan
melewati tahap kemanusiaan yang penuh dengan isme-isme. Apakah melampaui kalau
tidak ada yang dilampaui. Dengan bahasa yang sederhana dan umum (sederhana
karena umum), mereka disebut siap mati, siap susah, siap dihujat, dihina, dan
“di...”-“di...” lainnya yang (secara umum) berdefinisi buruk (bukan mutualisme).
Lalu mana yang benar dan yang salah. Sepertinya terlalu naif melihat
transformasi sebagai esensi. Ada sebab ada akibat. Ada manusia. Ada kebebasan
memilih.
Hukum dalam
isme mungkin adalah suatu cangkir, untuk wadah manusia meminum lautan. Bukan
hukum adalah lautan. Isme, (mungkin) adalah langkah awal sebelum sebuah gerakan
lari ataupun terbang. Pasrah, adalah pintu untuk masuk ke dalam sesuatu yang
lebih raya dari sekadar hidup untuk menjalankan isme-isme dengan tujuan
kebahagiaan abadi. Bukankah kebahagiaan itu pun sebuah isme.
Demikianlah,
setelah saya menuliskan ini dengan maksud ‘menyatakan’ hal yang terlintas
sekejap dalam pemikiran dengan tujuan memperjelas. Memperjelas untuk memahami
dan sedikit mengalami. Saya menjadi tambah bingung dan tidak jelas -_____-“
saya nulis apa ini yaaaa...????!!! *malas ngedit pula.
No comments:
Post a Comment