Thursday, September 8, 2011

isme.. ..isme.. ..isme.. ..isme.. amuristisme

A  :    Seorang sahabat adalah orang yang tidak meninggalkan temannya dalam keadaan terdesak ataupun dalam keadaan tersulit. Ketika dalam keadaan tersulit seorang sahabat seharusnya mendukung temannya, bukan meninggalkannya. untuk itu mengatakan orang lain sebagai sahabat, harus memenuhi kriteria diatas.

B  :    Tuhan gembalaku dalam badai
Terang dalam kegelapan, harapan dalam kecemasan
Cahaya-Nya menuntun jiwaku dan Roh Ilahi-Nya menghalau kabut keraguan
Biarlah diriku memuji dan bersorak sepanjang waktu
Hormat dan kemuliaan bagi-Nya di tempat maha tinggi

Ke’seharusnya’an. Membuat manusia seperti domba yang digiring gembala. Gerakannya diarahkan dan ditentukan, hidup menjalani yang diperintahkan dan menunggu untuk masuk ke dalam pintu kematian yang akan terbuka kemudian. Manusia yang berprikedombaan.

Banyak konsep, pemikiran, idealisme, dan seharusnya-seharusnya di dunia. Bukan berarti manusia ada untuk memilih salah satu pemikiran dan menjalankannya begitu saja. Namun, manusia (mampu) membentuk pemikirannya sendiri dari berbagai ‘pengalaman’ dalam bentuk isme-isme yang memenuhi dunia ini. Satu manusia satu isme.
 
Tidak ada benar dan salah, hanya ada sebab akibat. Banyak konsep yang diajarkan dan diberikan untuk ‘mengatur’ hidup manusia. Itu semua dalam tataran praksis dan bukan konseptis. Itu adalah pengarahan berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi. Bila begini maka kemungkinan yang terjadi adalah begitu sebesar a%, begitu sebesar b%, dst.

Tentang pemikiran, manusia punya kebenarannya masing-masing, benar menurut aku itulah kebenaran yang (relatif) mutlak. Konsistensi? Itu pun semu. Inkonsistensi pun bisa menjadi suatu bentuk konsistensi. Konsistensi inkonsistensi. Konsistensi dari perubahan-perubahan, perubahan yang konsisten.

Tentang penyerahaan diri. Pendekatan melalui ke’dombaan’ manusia. Penyederhanaan akan hal bahwa manusia adalah sekilat cahaya, sekejap muncul dan hilang, pada bidang tak terbatas kehidupan. Kedamaian, dalam arti suatu pemahaman dan pengalaman terhadap bidang tak terbatas tersebut, dilakukan dengan mengikuti giringan gembala yang baik. Gembala yang mengantarkan kepada air yang tenang dan padang rumput yang hijau.
 
Konsistensi inkonsistensi. Ada semacam keteraturan dari ketidak teratuan yang terlihat dalam hidup. Seperti keteraturan bahwa manusia yang lahir akan mati. Antara lahir dan mati itulah ‘kebebasan memilih’ manusia, dalam bentuk ketidak teraturan, yang bermain. Bagaimana manusia bisa memilih bila tidak ada alternatif jalan. Bagaimana ada alternatif jalan, bila tidak ada jalan utama.

Ajaran-ajaran mungkin merupakan kumpulan pengalaman-pengalaman yang dibuat polanya. Menjadi semacam rumus besar sebab-akibat. Manusia sebagai makhluk yang katanya memiliki akal dan budi, akan memanfaatkan hal ini dalam menjalani kehidupannya. Juga manusia memiliki ‘kebebasan memilih’ untuk memilih akan (kapan) menggunakan ’kebebasan memilih’nya atau tidak.

Seperti kita (umumnya relatif) tidak bisa menolak adanya (konsep) siang dan malam – karena secara umum itulah kebenaran (umum) –. Demikian konsepsi dan isme-isme itu memberikan semacam gambaran alur. Dalam menanggapi siang dan malam itulah manusia mengisinya dengan ‘kebebasan memilih’. Ada yang berpedoman pada konsep-konsep secara fleksibel, juga ada yang secara kaku.

Dalam tataran praktis, pola-pola tersebut adalah semacam jalan utama (umum), dimana jalan alternatif itu menjadi pilihan dari manusia, tentu dengan adanya hukum sebab-akibat yang seringkali bertransfomasi menjadi benar-salah, dan kerap transformasi ini adalah senjata kepada penghakiman. Manusia menjadi tuhan atas manusia lain (hasrat untuk berkuasa).

Dalam tataran konseptis, siang dan malam menjadi mainan bagi manusia. Dalam pemikirannya, manusia bisa berkata tidak ada siang atau malam atau gelap adalah siang dan terang adalah malam. Siapa yang bisa menentang? Tuhan pun tidak.

Manusia adalah konsentrat padat dari hasrat untuk berkuasa. Manusia membutuhkan idola. Menjadi panutan dan contoh, menjadi jalan utama dan jalan umum. Juga, manusia memiliki ‘kebebasan memilih’. Menjadi manusia dengan kemanusiaan atau kedombaan pun adalah pilihan. Dengan kedombaan menuju kemanusiaan atau kemanusiaan yang mengarah pada kedombaan atau kemanusiaan untuk kemanusiaan atau kedombaan selamanya atau ini atau itu atau begitu atau begini dan atau atau lainnya. Bebas.

Isme-isme yang dikatakan suatu kebijakan, kebaikan, kebenaran, (mungkin) sepertinya tidak lebih dari semacam rumus. Rumus tersebut berisi keseimbangan yang menghasilkan produk berupa simbiosis mutualisme. Tentu saja hal ini salah satu bukti bahwa isme adalah suatu pola dari banyak pengalaman yang pernah terrekam di bidang tak terbatas kehidupan.

Salah satu contoh sederhana. Berikanlah apa yang lebih dari padamu kepada sesamamu. Saat semua melakukan hal ini dengan penuh kesadaran dan kepastian, simbiosis mutualisme dalam jejaring global akan terjadi. Seseorang memberikan kepada orang lain yang ternyata membutuhkan. Kemudian saat sang pemberi ini mengalami musibah, orang lain (yang mungkin yang pernah ia beri atau tidak) yang mengamini isme ini, akan memberikan uluran tangan juga kepadanya. Begitu seterusnya.

Pola-pola yang terkandung dalam isme-isme yang bernada kebaikan, kebajikan, kedamaian dan sejenisnya mungkin memiliki dasar pola yang sama. Simbiosis mutualisme. Lantas, bagaimana dengan orang yang menyadari (secara sadar atau tidak sadar, dengan paramater kesadaran logika) pola ini? Kembali kepada ‘kebebasan memilih’, apakah ia akan mengikuti isme-isme dengan kaku, fleksibel, kombinasi, tunggal, adaptif, atau bahkan mungkin membuang semuanya dan melampauinya.

Beberapa orang mengatakan diri ‘melampaui’ dengan isme aku adalah tuhan untuk diriku sendiri. Berusaha mencapai kesadaran penuh akan diri namun tidak menolak bahwa dalam diri, ada jiwa yang memiliki suatu ruang murni kemanusiaan, yang sering dinamai hati nurani. Dengan kesadaran tinggi, manusia ini memilih. Memilih untuk bersimbiosis mutualis atau tidak, kapan, dimana, dalam lingkup apa, dengan cara bagaimana, penuh kontekstualitas tanpa menjadi opotunis dan munafik.

Manusia-manusia yang berusaha melampaui kemanusiaan (umumnya) tentu saja harus mengalami dan melewati tahap kemanusiaan yang penuh dengan isme-isme. Apakah melampaui kalau tidak ada yang dilampaui. Dengan bahasa yang sederhana dan umum (sederhana karena umum), mereka disebut siap mati, siap susah, siap dihujat, dihina, dan “di...”-“di...” lainnya yang (secara umum) berdefinisi buruk (bukan mutualisme). Lalu mana yang benar dan yang salah. Sepertinya terlalu naif melihat transformasi sebagai esensi. Ada sebab ada akibat. Ada manusia. Ada kebebasan memilih.

Hukum dalam isme mungkin adalah suatu cangkir, untuk wadah manusia meminum lautan. Bukan hukum adalah lautan. Isme, (mungkin) adalah langkah awal sebelum sebuah gerakan lari ataupun terbang. Pasrah, adalah pintu untuk masuk ke dalam sesuatu yang lebih raya dari sekadar hidup untuk menjalankan isme-isme dengan tujuan kebahagiaan abadi. Bukankah kebahagiaan itu pun sebuah isme.

Demikianlah, setelah saya menuliskan ini dengan maksud ‘menyatakan’ hal yang terlintas sekejap dalam pemikiran dengan tujuan memperjelas. Memperjelas untuk memahami dan sedikit mengalami. Saya menjadi tambah bingung dan tidak jelas -_____-“ saya nulis apa ini yaaaa...????!!! *malas ngedit pula.

No comments:

Post a Comment