Friday, September 30, 2011

The Skripsi Hati: A Marah

by Leo Amurist on Sunday, June 6, 2010 at 9:08pm
karenarasaadalahsegalanya 06062010


Teriakan yang tak meredakan hujan, tangisan yang tak mendatangkan awan. Tetap jatuh bulir-bulirnya, menirai dan bersetubuh dengan bumi, tetap terik benderang cahayanya, menyelimuti hari, kuras air mata hari. Tendangan yang tak hentikan laju angin, pukulan yang tak urungkan malam datang. Sesukanya ia terbang karena tak bersayaplah angin, selalu gelap datang bergandeng malam, karena suami istri lah mereka . Marah pun saat kesadaran menyatakan ketidak mampuan. Penolakan akan kodrat, ketidak terimaan akan martabat*, manusia.

Marah adalah (mungkin) rasa yang merupakan reaksi dari kesadaran akan ketidak mampuan seseorang untuk mengendalikan hal yang berada di luar kemampuannya, di luar lingkup haknya, di luar kendalinya, dan terutama di luar rencana/keinginannya. Penolakan akan kewajaran yang tak sesuai keinginan. Reaksi ini secara umum memiliki dua arah/target, pertama dirinya sendiri, kedua orang lain. Marah, utamanya diarahkan kepada diri sendiri sebagai rasa tidak terima akan kesadaran diri, bahwa ada hal yang tidak sesuai dengan keinginan dan tidak mampunya diri untuk menjadikannya sesuai keinginan. Selanjutnya, diri akan mencari subjek baru untuk melampiaskan kemarahannya, dimulai dari orang terdekat. Biasanya, hal ini terjadi karena marah pada diri sendiri tidak mampu memberi rasa puas, karena diri adalah subjek, maka ia akan mencari subjek baru dan memosisikannya sebagai objek penderita. Subjek predikat objek. Subjek memarahi objek.

Kepalan tangan dan gestur ganas, laku buas dan aksi membabi buta, sang aku. Tak hentikan untuk terus berlaku, ikuti rambu hati, dari pilihan pribadi yang hakiki, si dia. Teriak dan ancaman sang aku, hanya hentikan sementara, drama si dia berlanjut dan redamlah amarah. Hanya redam tak obati, menunggu guncang gunung berapi, untuk muntahkan lahar emosi hancurkan bumi, saat si dia menemukan jalan baru, yang menuntun pada kompas jiwa yang mengutarakan isi hati. Mendidih darah karena lemah diri, tak mampu menjadi dalang yang memainkan wayang bumi, tak bisa menjadi dewa yang memainkan alam sesuka hati, tak bisa jadi tuhan yang kendalikan hati. Bahkan tuhan (mungkin) tak mengendalikan hati manusia.

Sadari dahulu melakukan tanpa kesadaran kepenuhan, sadari pengendalian tertinggi hanya pada pribadi sendiri, itu pun setelah juta latihan teralami, sadari bahwa kesadaran sudah memberi jawaban yang sesuai, sadari bahwa waktu telah menunjukan yang sebenarnya. Tak terima buat jiwa kecewa. Seharusnya bisa, selayaknya terpenuhi. Goncang logika dan rasa, guling pikiran dan hati, terperosok menuju persimpangan pilihan. Penerimaan atau penolakan.

Ketiadaan penerimaan, meluncurkan rasa pada kecewa diri. Sutradara membagi peran. Masa lalu diberi peran sebagai menyesakan-menyesalkan. ‘Seharusnya’ sebagai ‘dasar pikiran’, ‘selayaknya’ sebagai ‘rantai ikat sayap kebebasan’, ‘amarah’ sebagai ‘gerbang penutup keterbukaan’. Aku sebagai ‘tuhan’, yang tak tersakiti, yang tak terpuasi, yang tak terredakan, yang selalu kurang. ‘Kamu’, aku makan.

*Martabat coklat, keju, kacang, atau kombinasi? Atau martabat telor aja ni?

No comments:

Post a Comment