Thursday, September 8, 2011

Mimpi


Karenarasaadalahsegalanya08092011//22:58wib
Baiklah, kita terlalu idealis. Penuh dengan mimpi dan terbuai dengannya. Semuanya buram, mana realita pun bukan pertanyaan lagi. Kacamata yang kini milik kuda sebenarnya adalah kekang manusia pada mulanya. Terbiasa lurus menatap, sisi samping menjadi ilusi. Keberadaan pada bidang yang sama, tak berarti tanpa adanya pengakuan. Kesepakatan untuk mengakui kenyataan adalah yang lurus di depan, membuat sisi samping menjadi mimpi.

Bukankah yang di depan dan yang di sisi ini berada dalam satu bidang? Kalau yang di depan kenyataan, bukankah demikian pula dengan yang di samping. Kalau yang di samping itu mimpi, bukankah juga begitu dengan yang di depan. Apa bedanya? Apa samanya? Sedikit orang bertanya, seperti kentut di tengah angin topan. Tak terasa dan tak lama berselang hilang.
Baiklah, kita terlalu idealis. Seharusnya begini dan seharusnya begitu, kata mereka. Lah, jadi yang idealis kita atau mereka? Bukankah kata ‘seharusnya’ adalah realisasi idealisme. Bukankah sang idealis yang menggunakan kata ‘seharusnya’? Baiklah, kita terlalu idealis. Mereka, hanya idealis.


Plak plak plak tampar kiri kanan bolak balik. Sadar kau, laki-laki. Sadar kau, perempuan. Kalian telanjang. Kesepakatannya adalah, tanpa sesuatu yang dikenakan di badan adalah telanjang. Telanjang adalah malu. Begitu logikanya. Begitu idealismenya. Terjadilah realita atas dasar kesepakatan bersama.
“Hai laki-laki, dimana kau? Hai perempuan, dimana kau? Hai manusia, dimana kalian? Keluarlah.”
“Tidak Ayah, kami malu. Tidak Ibu, kami malu.”
“Mengapa kalian malu?”
“Karena kami telanjang.”
“Siapa yang memberi tahu kalian kalau kalian telanjang?”
“Pikiran.”
Betapa ‘tuhan’nya sebuah ide.


Memang lah, aku terlalu idealis. Berharap, kedamaian adalah tujuan yang perlu dijalani dengan indah, lembut dan tenang. Semua akan senang. Manusia-manusia akan senang. Berakhir dengan tenang, seperti dalam khayangan. Ehem.. kahayalan. Hei, khayangan. Khayalangan. Kahayang (Sunda à Indonesia : kemauan). Kahalangan (Sunda à Indonesia : terhalang). Kumaha sia lah njing (Sunda à Inggris sok gaol : whatever ~ pakai nada @L4iiiii).

Dengan keramahan, menahan kemarahan, juga usaha menyenangkan, untuk menenangkan, orang lain. Kedamaian akan terwujud dan itulah jalan dan tujuan. Damai tenang. Baiklah, aku terlalu idealis. Berharap semua damai senang dan tenang.

Tidak akan ada hal itu, karena manusia punya kepentingan. Persaingan adalah jalannya. Kedamaian itu adalah ide, yang ideal, dan bertempat dalam idealisme. Lihatlah realita dan bersikap realistis. Menjadi realis. Bukankah perang lebih mudah terjadi.

Pun dengan kedamaian, bukan kah itu buah dari perang dan pertentangan. Bagaimana ada perkembangan tanpa ada kehancuran. Kenyataan adalah kehancuran, dan buahnya adalah mimpi. Darimana semua (mimpi) keindahan itu? Dari chaos tentunya. Inilah kenyataan.

Kedamaian itu buah dari pertentangan. Taman nan indah menyegarkan penuh bunga dari darah, dan ketenangan adalah hasil akhir gementang riang adu pedang. Tak nyata lah kedua insan selalu bahagia dan damai menjalani kisah hidupnya. Selalu tersakiti dan ada korban. Bukankah cinta yang diagungkan tak lebih dari sekadar getar genderang awal peperangan. Saat pertumpahan darah hingga dana, tangis hingga tawa, air mata hingga air mani, dari melihat dewa, lalu bidadari, menjadi manusia dan berakhir pada munculnya korban. Maka, kedamaian pun mekar seperti mawar merah di atas darah manusia. Merah. Indah. Ah...
Inilah kenyataan. Lah, bukankah kenyataan yang panjang lebar dibicarakan ini pun merupakan suatu ide?! Pemikiran kan. Lalu, mana yang nyata, mana yang mimpi. Dimana kuda?? Hei kuda!! Kembalikan kacamata manusia itu. Sungguh, terlalu munafik manusia berkata ‘kacamata kuda’. Kacamata ku–da. Kacamata_ku – . Kacamataku. Itulah (ide) kenyataannya.

Bagaimana dengan kuda? Suruh cepat pergi, bau asam taiknya memekakan hidung. Seperti kata “seharusnya”-“seharusnya” yang menusuk telinga ‘muda’ (membangkang) ini. Kami belum ‘tua’ (menyerah) di dunia ini. Ada saatnya nanti. Menyerah (sambil melihat manusia ~ merasa diri bukan manusia, kuda yah? ). Tapi bukan sekarang. Mungkin 27, 37, 47, 57, atau 67. Bisa saja saat 107 usia. Siapa tahu? Apa tahu? Waktu? Waktu pun hanya idea yang menyata lewat kesepakatan bersama.
Mimpi? Mimpi! Mimpi. Biasa aja kalee.. gak usah pake (ng)otot  ------   0_0

No comments:

Post a Comment