Monday, September 19, 2011

Cermin Vs Kaca



Karenarasaadalahsegalanya19092011//13:40wib

Manusia, menilai untuk mengerti dan menghakimi saat gagal untuk memahami. Jamak, banyak, umum, biasa. Biasa yang banyak, berbeda yang sedikit. Objektivitas itu semu, kolektivitas nan sejatinya. Berbeda itu dosa. Biasa, umum, jamak, banyak. Lemah yang kuat, kuat yang lemah, karena banyak. Kualitas dalam kuantitas.

Buruk rupa, cermin dibelah. Kecewa sendiri, diri lain dibedah. Manusia, menilai untuk mengerti dan menghakimi saat gagal untuk memahami. Persepsi dari aksi, tentu berbeda antara pelaku dan penonton. Pelaku yang sedikit adalah pendosa di hadapan kekuatan banyak jamak penonton memakai kaca. Kaca mata.

Rabun kah? Tidak, hanya tak berani melihat tanpa kacamata yang sama dengan semua. Parameterku untuk kamu. Parametermu ku tak mau tahu (maunya tempe). Banyak kaca di banyak mata para pembicara (alias komentator) menyatu menjadi cermin bagi sang terdakwa. Sungguh tak berjuta refleksi yang terjadi, hanya satu karena semua sama. Doktrinasi untuk menjadi samawi. Berbeda itu dosa.

Ah.. seandainya saja tak tertemukan cermin itu bagi sang terdakwa, tentu kan terbuai lah ia dalam kebanggaan semu. Bagaimana tak terjebak kalau hanya berkaca mata tanpa bercermin muka. Pemain pun bisa seketika menjadi penonton. Rela kah? Ada yang rela ada yang tidak. Seperti ada yang kalah dan ada yang tak mau menyerah. Suka suka lah.

Lihatlah para kerumunan itu. Apa bedanya dengan ternak yang mengikuti arah cambuk. Kiriiii... kanaaaann... lurusss..... berhentiii... yak makan rumput. Manusia dan ke’lembu’annya. Sungguh tak kan tersadari oleh sang ternilai, seandainya tak bercermin ia. Bersyukurlah, karena tak keras mata untuk melihat yang berbeda lewat kaca. Karena beda itu biasa, dan cermin yang memberitahunya.

Lantas, menyedihkan kah kerumunan terperangkap kaca itu? Sungguh dari kacamataku iya. Tapi, dari kacamataku tidak. Yasudah, untuk apa beradu kaca mata. Kalau pecah, tak bisa melihat lah masing-masing dari kita. Satu orang satu isme. Paksa isme hanya hadirkan paska isme, yang adalah perkelahian. Lantas, ada apa dengan perkelahian. Biasa saja. Isme ditambah isme sama dengan perkelahian, se(relatif)pasti satu ditambah satu yang (jamak diyakini) sama dengan dua. Yah, jamak.

Cermin melawan kaca. Sungguh hal kecil nan jarang terjamah. Yang bercermin menjadi pasif dan tak mau melihat lewat kaca matanya, yang berkaca mata terlalu aktif menganga. Korelasi indah adalah saat diam tenang menjalankan kesadaran, kaca-kaca dan mata-mata yang membuat menganga terangkai menjadi cermin. Satu kata sakti yang lahir adalah “oh..”. Lalu manusia menilai untuk mengerti, namun menghakimi saat gagal memahami.

Oh.. ternyata begini di mata ini, oh.. ternyata begitu di mata itu. Melampaui kaca dengan cermin, sungguh hal yang jamak diketahui namun jamak juga terabaikan oleh pada manusia jamak yang berkerumun di dalam kotak kaca. Seperti ikan menganga di akuarium. Hap hap hap bla bla bla hoekss...

Usai bercermin sungguh terasa kurang gaya tanpa kacamata. Satu titik balik yang sangat krusial dari seorang manusia. Refleksi yang melahirkan persepsi. Persepsi yang membentuk parameter. Terukirlah nilai pada skala kaca mata.

Sungguh, konsentrat padat dari hasrat untuk berkuasa (manusia) tak mampu tak berkaca mata. Dengan ukuran pada kaca mata itu, parameter pribadi menjadi senjata untuk mengerti. Jamak lah ini: ‘saat gagal mulai menghakimi’. Superioritas semu yang hadir dari rahang menganga, sungguh, ikan yang mendapat ‘berkat’ sebagai sirajanganga pun kalah.

Kemudian cermin membentuk kaca. Kaca bertemu mata. Mata bertemu isme. Isme bertemu otak. Otak bertemu lidah. Lidah berontak, yang tak berotak atau pun berotak. Desak rahang untuk ternganga. Bla bla bla.. Betapa mudahnya keunikan hanyut oleh kekuatan banyak dari jamak. Lemah? Tidak, kalian tidak lemah, karena kalian banyak. Banyak, biasa, sama. Jamak.

Apa kabar cermin? Baik-baik saja. Karena sungguh, keunikan akan terlahir dan mengada. Tak perlu banyak, karena kualitasnya bukan dari kuantitas. Namun, dari kesadaran, untuk terus bercermin dan sesekali berkaca mata. Berkaca mata, bukan untuk gagal dan terjebak menjadi hakim-hakim di dunia. Namun untuk mengerti, kemudian walau tak memahami menolak untuk gagal. Terima saja ketidak pahaman. Karena yang perlu diketahui akan diketahui tepat waktu.

Tanpa kaca, tiada cermin dan tanpa cermin, kaca tak mengada. Ternganga mengada-ada atau terdiam tanpa suara atau proporsional seperlunya. Kembar tiga dari pertentangan kaca dan cermin. Manusia, silakan memilih kaca atau cermin atau keduanya. Ke’lembu’an atau ke’manusia’an atau keduanya. Jamak atau unik atau keduanya.


Mari berasumsi:
Bermobil itu berharta (?)
Bergaya itu berada (?)
Berontak itu berdaya (?)
Berbicara itu berakal (?)
Ehmm.. ??? Iya ya???
Tergantung kaca mata ^ ^
Mari saja bercermin muka ^ ^

No comments:

Post a Comment