Karenarasaadalahsegalanya19092011//13:40wib
Manusia,
menilai untuk mengerti dan menghakimi saat gagal untuk memahami. Jamak, banyak,
umum, biasa. Biasa yang banyak, berbeda yang sedikit. Objektivitas itu semu,
kolektivitas nan sejatinya. Berbeda itu dosa. Biasa, umum, jamak, banyak. Lemah
yang kuat, kuat yang lemah, karena banyak. Kualitas dalam kuantitas.
Buruk
rupa, cermin dibelah. Kecewa sendiri, diri lain dibedah. Manusia, menilai untuk
mengerti dan menghakimi saat gagal untuk memahami. Persepsi dari aksi, tentu
berbeda antara pelaku dan penonton. Pelaku yang sedikit adalah pendosa di
hadapan kekuatan banyak jamak penonton memakai kaca. Kaca mata.
Rabun
kah? Tidak, hanya tak berani melihat tanpa kacamata yang sama dengan semua.
Parameterku untuk kamu. Parametermu ku tak mau tahu (maunya tempe). Banyak kaca
di banyak mata para pembicara (alias komentator) menyatu menjadi cermin bagi
sang terdakwa. Sungguh tak berjuta refleksi yang terjadi, hanya satu karena
semua sama. Doktrinasi untuk menjadi samawi. Berbeda itu dosa.
Ah..
seandainya saja tak tertemukan cermin itu bagi sang terdakwa, tentu kan terbuai
lah ia dalam kebanggaan semu. Bagaimana tak terjebak kalau hanya berkaca mata
tanpa bercermin muka. Pemain pun bisa seketika menjadi penonton. Rela kah? Ada
yang rela ada yang tidak. Seperti ada yang kalah dan ada yang tak mau menyerah.
Suka suka lah.
Lihatlah
para kerumunan itu. Apa bedanya dengan ternak yang mengikuti arah cambuk. Kiriiii...
kanaaaann... lurusss..... berhentiii... yak makan rumput. Manusia dan
ke’lembu’annya. Sungguh tak kan tersadari oleh sang ternilai, seandainya tak
bercermin ia. Bersyukurlah, karena tak keras mata untuk melihat yang berbeda lewat
kaca. Karena beda itu biasa, dan cermin yang memberitahunya.
Lantas,
menyedihkan kah kerumunan terperangkap kaca itu? Sungguh dari kacamataku iya.
Tapi, dari kacamataku tidak. Yasudah, untuk apa beradu kaca mata. Kalau pecah,
tak bisa melihat lah masing-masing dari kita. Satu orang satu isme. Paksa isme
hanya hadirkan paska isme, yang
adalah perkelahian. Lantas, ada apa dengan perkelahian. Biasa saja. Isme
ditambah isme sama dengan perkelahian, se(relatif)pasti satu ditambah satu yang
(jamak diyakini) sama dengan dua. Yah, jamak.
Cermin
melawan kaca. Sungguh hal kecil nan jarang terjamah. Yang bercermin menjadi
pasif dan tak mau melihat lewat kaca matanya, yang berkaca mata terlalu aktif
menganga. Korelasi indah adalah saat diam tenang menjalankan kesadaran,
kaca-kaca dan mata-mata yang membuat menganga terangkai menjadi cermin. Satu
kata sakti yang lahir adalah “oh..”. Lalu manusia menilai untuk mengerti, namun
menghakimi saat gagal memahami.
Oh..
ternyata begini di mata ini, oh.. ternyata begitu di mata itu. Melampaui kaca
dengan cermin, sungguh hal yang jamak diketahui namun jamak juga terabaikan
oleh pada manusia jamak yang berkerumun di dalam kotak kaca. Seperti ikan
menganga di akuarium. Hap hap hap bla bla bla hoekss...
Usai
bercermin sungguh terasa kurang gaya tanpa kacamata. Satu titik balik yang
sangat krusial dari seorang manusia. Refleksi yang melahirkan persepsi.
Persepsi yang membentuk parameter. Terukirlah nilai pada skala kaca mata.
Sungguh,
konsentrat padat dari hasrat untuk berkuasa (manusia) tak mampu tak berkaca
mata. Dengan ukuran pada kaca mata itu, parameter pribadi menjadi senjata untuk
mengerti. Jamak lah ini: ‘saat gagal mulai menghakimi’. Superioritas semu yang
hadir dari rahang menganga, sungguh, ikan yang mendapat ‘berkat’ sebagai
sirajanganga pun kalah.
Kemudian
cermin membentuk kaca. Kaca bertemu mata. Mata bertemu isme. Isme bertemu otak.
Otak bertemu lidah. Lidah berontak, yang tak berotak atau pun berotak. Desak
rahang untuk ternganga. Bla bla bla.. Betapa mudahnya keunikan hanyut oleh
kekuatan banyak dari jamak. Lemah? Tidak, kalian tidak lemah, karena kalian
banyak. Banyak, biasa, sama. Jamak.
Apa
kabar cermin? Baik-baik saja. Karena sungguh, keunikan akan terlahir dan
mengada. Tak perlu banyak, karena kualitasnya bukan dari kuantitas. Namun, dari
kesadaran, untuk terus bercermin dan sesekali berkaca mata. Berkaca mata, bukan
untuk gagal dan terjebak menjadi hakim-hakim di dunia. Namun untuk mengerti,
kemudian walau tak memahami menolak untuk gagal. Terima saja ketidak pahaman.
Karena yang perlu diketahui akan diketahui tepat waktu.
Tanpa
kaca, tiada cermin dan tanpa cermin, kaca tak mengada. Ternganga mengada-ada
atau terdiam tanpa suara atau proporsional seperlunya. Kembar tiga dari
pertentangan kaca dan cermin. Manusia, silakan memilih kaca atau cermin atau
keduanya. Ke’lembu’an atau ke’manusia’an atau keduanya. Jamak atau unik atau
keduanya.
Mari berasumsi:
Bermobil itu berharta (?)
Bergaya itu berada (?)
Berontak itu berdaya (?)
Berbicara itu berakal (?)
Ehmm.. ??? Iya ya???
Tergantung kaca mata ^ ^
Mari saja bercermin muka ^ ^
No comments:
Post a Comment